Rabu, 29 Desember 2010

ARTIKEL

Karya Sendiri

WISUDA PARA RELAWAN

Kurban adalah ibadah yang kita tiru dari Nabi Ibrahim yang rela mengurbankan anaknya, Ismail, demi kepatuhannya kepada Allah SWT. Ibadah ini tidak selesai pada amal pemotongan hewan dan kemudian membagi-bagikan dagingnya kepada mereka yang berhak. Karena amal ibadah kurban ini hanya merupakan perlambang, bukan esensi atau tujuan tertinggi ibadah tersebut.
Tujuan tertinggi ibadah kurban adalah penegakkan sifat rela berkurban dalam bentuk apa saja, dan dalam kesempatan mana saja demi kemaslahatan orang lain atau umum. Artinya tujuan ibadah kurban baru tercapai pabila amal tersebut telah membuat orang yang berkurban memiliki perhatian dan keprihatinan terhadap masalah-masalah yang muncul di tengah masyarakat, baik yang berskala kecil maupun besar.
Maka bisa dikatakan bahwa pemotongan hewan kurban adalah simbolisasi atau wisuda para relawan. Mereka yang berkurban di hari Idul Adha telah dinyatakan sebagai relawan-relawan Ilahi yang siap berkurban atas nama Allah demi kebaikan bersama. Namun, kebanyakan kita lupa akan matra sosial peribadatan kita. Ibadah shalat dimulai dengan takbir dan dianggap selesai pada pengucapan salam. Ibadah kurban pun dianggap selesai pada pembagian daging hewan yang dipotong. Rasanya, kita hanya beramal di bagian kulit dan tak menjamah isinya.
Sayang betul, bukan? Maka dalam beragama, mari kita laksanakan juga matra sosialnya. Karena esensi agama memang terletak pada kepaduan antara tujuan yang Ilahi atas dan yang manusiawi. Karena setiap bentuk ibadah ritual, selain punya arah ke atas harus pula punya makna mendatar. Bahkan bila dipercaya bahwa sesungguhnya Allah tidak memerlukan apapun dari pihak manapun, maka arah ke atas dalam ibadah ritual kita hanya merupakan perlambang bahwa segala bentuk ibadah kita hanyalah demi Dia semata. Sementara itu buah peribadatan harus dirasakan oleh pihak yang memang membutuhkannya, yaitu manusia dan kemansiaannya.

Dari Sumber Lain
PENDIDIKAN BERMUTU DI TENGAH PENTAS BUDAYA INSTAN
Oleh Tata

Pendidikan merupakan kebutuhan sepanjang hayat. Setiap manusia membutuhkan pendidikan, sampai kapan dan dimanapun ia berada. Pendidikan sangat penting artinya, sebab tanpa pendidikan manusia akan sulit berkembang dan bahkan akan terbelakang. Dengan demikian pendidikan harus betul-betul diarahkan untuk menghasilkan manusia yang berkualitas dan mampu bersaing, di samping memiliki budi pekerti yang luhur dan moral yang baik.
Zaman sudah berubah. Semua orang maunya serba cepat. Jadinya, cenderung mengabaikan proses tapi ingin segera mendapat hasil. Apalagi di negara dengan etos kerja rendah seperti Indonesia. Akibatnya, budaya instan mulai masuk ke setiap kehidupan kita. Hidup di zaman modern seperti sekarang ini segala sesuatu dapat kita dapatkan dengan mudah, praktis dan cepat. Kemajuan teknologi telah memanjakan kita. Mau ngobrol dengan rekan atau saudara yang bermukim di belahan dunia lain, tinggal angkat telepon atau buka internet. Ingin belanja atau makan di restoran tapi malas keluar, tinggal pesan lewat telepon atau beli lewat situs. Mau transaksi —transfer uang, bayar listrik, kartu kredit, beli pulsa— tidak perlu susah-susah ke bank atau ATM. Semua bisa dilakukan lewat handphone. Bagi cewek-cewek yang ingin rambut panjang tidak perlu harus menunggu sampai berbulan-bulan. Cukup tunggu ½ jam saja dengan teknik hair extension, rambut bisa panjang sesuai keinginan.
Maklum, orang makin sibuk. Malas direpotkan dengan hal-hal ribet. Maunya serba instan. Salahkah itu?, selama masih mengikuti hukum alam, serba instan itu sah-sah saja. “Hidup yang baik dan sukses adalah hidup yang sesuai dengan proses alam”. Sampai level tertentu teknologi bisa kita pakai untuk mempercepat hal-hal yang bisa dipercepat sesuai hukum alam. Kemajuan teknologi dan tuntutan zaman, memungkinkan kita mendapatkan sesuatu serba cepat. Tetapi tidak asal cepat. Kualitas harus tetap terjaga. “Padi 100 hari baru panen itu bagus”. Tapi ingat itu ada yang bisa dipercepat. Mestinya, hasilnya harus lebih baik. Jadi, cepat, baik dan bermutu harus berlangsung bersama.
Sayangnya, yang terjadi justru sebaliknya. Mendapatkan sesuatu dengan mudah membuat orang enggan bersusah payah. Tak mau melewati proses. Alias malas. Yang penting cepat !. Bermutu atau tidak, itu urusan nanti. Berorientasi hanya pada hasil. Proses tidak penting. Parahnya, “virus” itu sudah menyebar ke berbagai aspek kehidupan. Ingin sukses dengan cara instan. Jadilah, banyak orang korupsi, punya gelar palsu, beli skripsi, ijazah aspal, asal lulus, cepat kaya lewat penggandaan uang dan lain sebagainya. Kalau memang berat, membosankan dan ketinggalan zaman mengapa kita harus bermutu? Kalau ada cara cepat yang memberi hasil, mengapa tidak dicoba?. Lebih lanjut, sekarang ini sudah terjadi pergeseran nilai di masyarakat. Orang makin individualis dan cenderung melecehkan hak orang lain. Untuk mengejar kesuksesannya, orang tak ragu-ragu mengorbankan orang lain.

Pendidikan Cenderung Dibisniskan.

Munculnya berbagai cara yang mengarah pada pelanggaran etika akademik yang dilakukan perguruan tinggi kita untuk memenangkan persaingan, menunjukkan bahwa pendidikan kini cenderung dipakai sebagai ajang bisnis. Pola promosi yang memberikan kemudahan dan iming-iming hadiah merupakan suatu gambaran bahwa perguruan tinggi tersebut tidak ada inovasi dalam hal kualitas pendidikan. Kecenderungan tersebut akan menghancurkan dunia pendidikan, karena akhirnya masyarakat bukan kuliah untuk meningkatkan kualitas diri, melainkan hanya mengejar gelar untuk prestise. Kondisi pendidikan tinggi saat ini cukup memprihatinkan. Ada PTS yang mengabaikan proses pendidikan. Bahkan ada PTS yang hanya menjadi mesin pencetak uang, bukan menghasilkan lulusan yang berkualitas. Hal Ini yang membuat persaingan menjadi semakin tidak sehat.
Produk lulusan perguruan tinggi yang proses pendidikannya asal-asalan dan bahkan akal-akalan, juga cenderung menghalalkan segala cara untuk merekrut calon mahasiswa sebanyak-banyaknya, dengan promosi yang terkadang menjebak dengan iming-iming hadiah yang menggiurkan. Apakah ini gambaran pendidikan berkualitas ?. Bahkan ada beberapa PTS di Jakarta yang memainkan range nilai untuk meluluskan mahasiswanya, karena mereka takut, ketika selesai ujian akhir (UTS/UAS) banyak mahasiswanya yang tidak lulus alias IP/IPK nasakom. Sehingga mereka lulus dengan angka pas-pasan yang sebenarnya mahasiswa tersebut tidak lulus. Dalam hal ini semua pihak harus melakukan introspeksi untuk bisa memberi pelayanan pendidikan yang berkualitas. Kopertis, harus bersikap tegas menindak Perguruan Tinggi Swasta (PTS) yang melanggar dan mensosialisasikan aturan yang tak boleh dilanggar oleh PTS. Pengelola perguruan tinggi juga harus menghentikan semua langkah yang melanggar aturan. Kunci pengawasan itu ada secara bertahap di tangan Ketua Program Studi, Direktur, Dekan, Rektor dan Ketua Yayasan.

Tantangan Lulusan Sarjana di Era Informasi.

Ketika para sarjana memadati berbagai arena bursa kerja untuk menawarkan ilmu dan ijazah mereka, iklan-iklan penerimaan mahasiswa baru juga nyaris memenuhi halaman-halaman surat kabar. Dua fenomena tersebut ironis. Promosi Perguruan Tinggi untuk menjaring calon mahasiswa sama "gencarnya" dengan peningkatan pengangguran lulusan. Di sisi lain, perlu diajukan pertanyaan, kualifikasi apakah sebenarnya yang disyaratkan oleh para pencari tenaga kerja lulusan sarjana Perguruan Tinggi ini ?
Jawaban yang diperoleh para peneliti umumnya adalah campuran kualitas personal dan prestasi akademik. Tetapi pencari tenaga kerja tidak pernah mengonkretkan, misalnya, seberapa besar spesialisasi mereka mengharapkan suatu program studi di Perguruan Tinggi. Kualifikasi seperti memiliki kemampuan numerik, problem-solving dan komunikatif sering merupakan prediksi para pengelola Perguruan Tinggi daripada pernyataan eksplisit para pencari tenaga kerja. Hasil survei menunjukkan perubahan keinginan para pencari tenaga kerja tersebut adalah dalam hal kualifikasi lulusan Perguruan Tinggi yang mereka syaratkan.
Tidak setiap persyaratan kualifikasi yang dimuat di iklan lowongan kerja sama penting nilainya bagi para pencari tenaga kerja. Dalam prakteknya, kualifikasi yang dinyatakan sebagai "paling dicari" oleh para pencari tenaga kerja juga tidak selalu menjadi kualifikasi yang "paling menentukan" diterima atau tidaknya seorang lulusan sarjana dalam suatu pekerjaan.
Yang menarik, tiga kualifikasi kategori kompetensi personal, yaitu kejujuran, tanggung jawab, dan inisiatif, menjadi kualifikasi yang paling penting, paling dicari, dan paling menentukan dalam proses rekrutmen. Kompetensi interpersonal, seperti mampu bekerja sama dan fleksibel, dipandang paling dicari dan paling menentukan. Namun, meskipun sering dicantumkan di dalam iklan lowongan kerja, indeks prestasi kumulatif (IPK) sebagai salah satu indikator keunggulan akademik tidak termasuk yang paling penting, paling dicari, ataupun paling menentukan.
Di sisi lain, reputasi institusi Pendidikan Tinggi yang antara lain diukur dengan status akreditasi program studi sama sekali tidak termasuk dalam daftar kualifikasi yang paling penting, paling dicari, ataupun paling menentukan proses rekrutmen lulusan sarjana oleh para pencari tenaga kerja.
Ada kecenderungan para pencari tenaga kerja "mengabaikan" bidang studi lulusan sarjana Dalam sebuah wawancara, seorang kepala HRD sebuah bank di Cirebon menegaskan, kesesuaian kualitas personal dengan sifat-sifat suatu bidang pekerjaan lebih menentukan diterima atau tidaknya seorang lulusan Perguruan Tinggi. Misalnya, posisi sebagai kasir bank menuntut kecepatan, kecekatan, dan ketepatan. Maka, lulusan sarnaja dengan kualitas ini punya peluang besar untuk diterima meskipun latar belakang bidang pendidikannya tidak sesuai. Kepala HRD itu mengatakan, "Saya pernah menerima Sarjana Pertanian dari Bogor sebagai kasir di bank kami dan menolak Sarjana Ekonomi manajemen dari Bandung yang IPK-nya sangat bagus."
Kualifikasi-kualifikasi yang disyaratkan dunia kerja tersebut penting diperhatikan oleh pengelola Perguruan Tinggi untuk mengatasi tidak nyambung-nya antara Perguruan Tinggi dengan dunia kerja dan pengangguran lulusan. Jika pembenahan sistem seleksi mahasiswa baru dimaksudkan untuk menyaring mahasiswa sesuai kompetensi dasarnya, perhatian pada kualifikasi yang dituntut pasar kerja dimaksudkan sebagai patokan proses pengolahan kompetensi dasar tersebut. Untuk itu semua, kerja sama Perguruan Tinggi dan dunia kerja adalah perlu.


SIKAP PEMIMPIN SEJATI
Oleh Gatot Yan S

Bulan Januari 2008 mendatang masyarakat Kabupaten Tangerang akan melangsungkan hajatan besar, Pilkada Langsung. Hajatan ini pantas untuk dikatakan besar mengingat pasangan yang akan terpilih nanti pada kenyataannya akan mengatasnamakan rakyat untuk membuat dan menjalankan kebijakan-kebijakan yang menentukan nasib lebih dari 3 juta jiwa penduduk Tangerang.

Suka atau tidak suka, merekalah yang kemudian akan menorehkan tinta sejarah “Kota Sejuta Industri” ini. Mereka-mereka yang akan berlabelkan elit politik inilah yang nanti akan mendapat sebutan sebagai pimpinan rakyat, meskipun masih menjadi tanda besar apakah mereka mampu menjadi pemimpin yang sejati, atau justru menjadi pemimpin yang menghianati amanat rakyat.

Masyarakat menaruh harapan besar ke pundak mereka. Harapan akan berakhirnya masa-masa penderitaan yang selalu dibebankan kepada rakyat nampak jelas tercermin dari besarnya keinginan untuk berubah dan tingginya animo mereka untuk berpartisipasi dalam perhelatan Pilkada mendatang.

Masyarakat tidak berharap apapun selain keinginan untuk bersama-sama menuju kehidupan yang adil dan sejahtera. Seluruh masyarakat telah dengan sabar menunaikan tugasnya untuk berpartisipasi dalam setiap kebijakan yang dibuat (termasuk taat dalam membayar pajak). Sekarang saatnya para pemimpin membuktikan bahwa dirinya memang pemimpim sejati yang layak terpilih untuk memimpin rakyat. Sikap pemimpin sejati yang diharapkan oleh rakyat antara lain adalah:

1. Berfikir dan Bertindak ilmiah.

Tidak dapat dipungkiri bahwa selama ini kita masih dikuasai tipe-tipe pemimpin yang bergerak berdasarkan feeling atau pemikiran sesaatnya. Tidak heran jika pertarungan gagasan di level elit politik termasuk hal yang tidak mudah kita temui. Para pemimpin kita saat ini, hampir di semua level lebih menyukai pertarungan retorika, pilihan kata, media dan bahkan pertarungan massa. Lobi politik jauh lebih penting ketimbang mempertajam gagasan yang akan diusung.

Sejatinya, calon pemimpin harus menghargai rakyat yang akan memilihnya dengan tidak sekedar memberi janji dan simpati, tetapi lebih jauh mampu memberikan gambaran kepada masyarakat ke mana arah pembangunan ini akan digerakkan. Dengan pola politik seperti ini maka rakyat tidak akan salah pilih hanya karena sosok luar seorang calon pemimpin tetapi memang seluruh pola pikir yang ada pada dirinya akan bisa ditangkap. Cukuplah pembodohan kepada rakyat diakhiri sampai disini, marilah kita nilai bersama-sama siapa diantara elit politik yang ada saat ini yang berani mengambil political style by content, dan tidak sekedar political style by money and lobby.

2. Memiliki sikap empati dan sensitivitas terhadap rakyatnya.

Inilah modal dasar yang penting bagi seorang pemimpin sejati. Seorang pemimpin di level manapun mustahil memahami dengan baik rakyat yang dipimpinnya ketika mereka belum merasakan langsung kondisi rakyatnya. Tengok saja model pemimpin zaman era pertama Islam Umar bin Khatab yang saat membuka pintu Yerusalem memilih menaiki keledai kecil dan dengan pakaian ala kadarnya membuat posisinya tampak berada di bawah sang jendral penakluk kota tersebut.

Atau juga tengok Bapak Koperasi kita Bung Hatta yang menjadi sangat dikenang selain karena intelektualitasnya juga karena kesederhanaan dan kejujurannya. Semua bentuk empati dan simpatinya itulah yang membuat mereka menjadi jauh lebih paham seperti apa rakyat yang dipimpinnya ketimbang mereka-mereka yang memilih gaya borjuis saat menjadi elit politik.

3. Mampu berkomunikasi dengan rakyatnya.

Kapasitas ilmiah serta empati dan rasa sensitivitas yang baik pada akhirnya akan melahirkan seorang pemimpin yang mampu berkomunikasi dengan baik kepada rakyatnya. Komunikasi yang baik kepada rakyatnya bukanlah sekedar kemampuan retorika yang baik, tetapi juga kemampuan memilih hal yang akan dilempar kepada publik serta waktu yang tepat dalam melemparkannya. Dan yang terpenting dari semua itu adalah sang pemimpin akhirnya mampu mengambil sebuah kebijakan yang tepat dalam sebuah kondisi yang memang dibutuhkan oleh rakyat yang dipimpinnya.

4. Berani menuangkan gagasannya pada ruang publik.

Inilah karakter berikutnya yang akan lahir dari seorang pemimpin ketika dia memiliki ketiga karakter sebelumnya. Meskipun begitu, realitas yang kita lihat saat ini sangat jauh dari harapan. Perbedaan yang ada dari para elit politik lebih pada masalah yang tidak substansial seputar perebutan kursi atau ‘rejeki’ lainnya yang menyebabkan tidak ada dialektika ilmiah yang argumentatif yang bisa dinikmati oleh rakyat.

Memang ini bukan suatu keharusan, tapi dari situ kita bisa menilai bahwa elit politik kita memang tidak terbiasa mengajak publik untuk terlibat dalam pengambilan keputusannya. Karakter otoriter dalam berfikir masih sangat dominan yang membuat dirinya sulit bersikap transparan bahkan untuk sebuah pemikirannya.

5. Memiliki kredibilitas moral yang teruji.

Inilah kelengkapan akhir dari karakter pemimpin yang membuat seorang pemimpin menjadi sempurna. Ketika seluruh karakter di atas bisa dimiliki oleh seorang pemimpin maka namanya akan dikenang melampaui usianya. Meskipun begitu, karakter terakhir inilah yang akan menentukan apakah dirinya akan dikenang dengan harum atau sebaliknya. Kredibilitas moral baru benar-benar akan menjadi karakter pada diri seseorang manakala sifat ini telah teruji.

Itulah berbagai harapan yang saat ini sedang dinanti-nantikan oleh seluruh masyarakat Tangerang. Pemimpin sejati semodel Gandhi, Bung Hatta, Umar Bin Khatab, dan lainnya saat ini sedang ditunggu kehadirannya. Bahkan siapapun yang berkarakter seperti yang disebutkan di atas, bukannya tidak mungkin akan lebih dikenang sebagai pemimpin oleh masyarakat meskipun mereka bukanlah bagian dari elit politik formal. Seseorang yang berkarakter pemimpin sejati akan mampu menembus sekat-sekat kursi struktural sebagaimana seorang Gandhi yang senantiasa dikenang sebagai pemimpin India meskipun dia bukan presiden India.

Siapapun yang memenangkan Pilkada nanti, secara formal merekalah para pemimpin Tangerang ini. Tetapi sejarah yang akan menunjukkan kepada kita siapa diantara mereka yang memang pemimpin sejati. Selamat bertarung, kami menanti kiprah anda, dan jangan khawatir, kami siap untuk tidak memilih anda 5 tahun lagi jika anda menghianati amanat rakyat !!


KENAKALAN REMAJA

Ada seorang Ibu yang tinggal di Jakarta bercerita bahwa sejak maraknya kasus tawuran pelajar di Jakarta, Beliau mengambil inisiatif untuk mengantar dan menjemput anaknya yang sudah SMU, sebuah kebiasaan yang belum pernah Beliau lakukan sebelumnya. Bagaimana tidak ngeri, kalau pelajar yang tidak ikut-ikutan-pun ikut diserang ?
Mengapa para pelajar itu begitu sering tawuran, seakan-akan mereka sudah tidak memiliki akal sehat, dan tidak bisa berpikir mana yang berguna dan mana yang tidak ? Mengapa pula para remaja banyak yang terlibat narkoba dan seks bebas ? Apa yang salah dari semua ini ?
Seperti yang sudah diulas dalam artikel lain di situs ini, remaja adalah mereka yang berusia antara 12 - 21 tahun. Remaja akan mengalami periode perkembangan fisik dan psikis sebagai berikut :
Masa Pra-pubertas (12 - 13 tahun)
Masa pubertas (14 - 16 tahun)
Masa akhir pubertas (17 - 18 tahun)
Dan periode remaja Adolesen (19 - 21 tahun)

Masa pra-pubertas (12 - 13 tahun)
Masa ini disebut juga masa pueral, yaitu masa peralihan dari kanak-kanak ke remaja. Pada anak perempuan, masa ini lebih singkat dibandingkan dengan anak laki-laki. Pada masa ini, terjadi perubahan yang besar pada remaja, yaitu meningkatnya hormon seksualitas dan mulai berkembangnya organ-organ seksual serta organ-organ reproduksi remaja. Di samping itu, perkembangan intelektualitas yang sangat pesat jga terjadi pada fase ini. Akibatnya, remaja-remaja ini cenderung bersikap suka mengkritik (karena merasa tahu segalanya), yang sering diwujudkan dalam bentuk pembangkangan ataupun pembantahan terhadap orang tua, mulai menyukai orang dewasa yang dianggapnya baik, serta menjadikannya sebagai "hero" atau pujaannya. Perilaku ini akan diikuti dengan meniru segala yang dilakukan oleh pujaannya, seperti model rambut, gaya bicara, sampai dengan kebiasaan hidup pujaan tersebut.
Selain itu, pada masa ini remaja juga cenderung lebih berani mengutarakan keinginan hatinya, lebih berani mengemukakan pendapatnya, bahkan akan mempertahankan pendapatnya sekuat mungkin. Hal ini yang sering ditanggapi oleh orang tua sebagai pembangkangan. Remaja tidak ingin diperlakukan sebagai anak kecil lagi. Mereka lebih senang bergaul dengan kelompok yang dianggapnya sesuai dengan kesenangannya. Mereka juga semakin berani menentang tradisi orang tua yang dianggapnya kuno dan tidak/kurang berguna, maupun peraturan-peraturan yang menurut mereka tidak beralasan, seperti tidak boleh mampir ke tempat lain selepas sekolah, dan sebagainya. Mereka akan semakin kehilangan minat untuk bergabung dalam kelompok sosial yang formal, dan cenderung bergabung dengan teman-teman pilihannya. Misalnya, mereka akan memilih main ke tempat teman karibnya daripada bersama keluarga berkunjung ke rumah saudara.
Tapi, pada saat yang sama, mereka juga butuh pertolongan dan bantuan yang selalu siap sedia dari orang tuanya, jika mereka tidak mampu menjelmakan keinginannya. Pada saat ini adalah saat yang kritis. Jika orang tua tidak mampu memenuhi kebutuhan psikisnya untuk mengatasi konflik yang terjadi saat itu, remaja akan mencarinya dari orang lain. Orang tua harus ingat, bahwa masalah yang dihadapi remaja, meskipun bagi orang tua itu merupakan masalah sepele, tetapi bagi remaja itu adalah masalah yang sangat-sangat berat. Orang tua tidak boleh berpikir, "Ya ampun... itu kan hal kecil. Masa kamu tidak bisa menyelesaikannya ? Bodoh sekali kamu !", dan sebagainya. Tetapi perhatian seolah-olah orang tua mengerti bahwa masalah itu berat sekali bagi remajanya, akan terekam dalam otak remaja itu bahwa orang tuanya adalah jalan keluar ang terbaik baginya. Ini akan mempermudah orang tua untuk mengarahkan perkembangan psikis anaknya.

Masa pubertas (14 - 16 tahun)
Masa ini disebut juga masa remaja awal, dimana perkembangan fisik mereka begitu menonjol. Remaja sangat cemas akan perkembangan fisiknya, sekaligus bangga bahwa hal itu menunjukkan bahwa ia memang bukan anak-anak lagi. Pada masa ini, emosi remaja menjadi sangat labil akibat dari perkembangan hormon-hormon seksualnya yang begitu pesat. Keinginan seksual juga mulai kuat muncul pada masa ini. Pada remaja wanita ditandai dengan datangnya menstruasi yang pertama, sedangkan pada remaja pris ditandai dengan datangnya mimpi basah yang pertama. Remaja akan merasa bingung dan malu akan hal ini, sehingga orang tua harus mendampinginya serta memberikan pengertian yang baik dan benar tentang seksualitas. Jika hal ini gagal ditangani dengan baik, perkembangan psikis mereka khususnya dalam hal pengenalan diri/gender dan seksualitasnya akan terganggu. Kasus-kasus gay dan lesbi banyak diawali dengan gagalnya perkembangan remaja pada tahap ini.
Di samping itu, remaja mulai mengerti tentang gengsi, penampilan, dan daya tarik seksual. Karena kebingungan mereka ditambah labilnya emosi akibat pengaruh perkembangan seksualitasnya, remaja sukar diselami perasaannya. Kadang mereka bersikap kasar, kadang lembut. Kadang suka melamun, di lain waktu dia begitu ceria. Perasaan sosial remaja di masa ini semakin kuat, dan mereka bergabung dengan kelompok yang disukainya dan membuat peraturan-peraturan dengan pikirannya sendiri.
Masa akhir pubertas (17 - 18 tahun)
Pada masa ini, remaja yang mampu melewati masa sebelumnya dengan baik, akan dapat menerima kodratnya, baik sebagai laki-laki maupun perempuan. Mereka juga bangga karena tubuh mereka dianggap menentukan harga diri mereka. Masa ini berlangsung sangat singkat. Pada remaja putri, masa ini berlangsung lebih singkat daripada remaja pria, sehingga proses kedewasaan remaja putri lebih cepat dicapai dibandingkan remaja pria. Umumnya kematangan fisik dan seksualitas mereka sudah tercapai sepenuhnya. Namun kematangan psikologis belum tercapai sepenuhnya.

Periode remaja Adolesen (19 - 21 tahun)
Pada periode ini umumnya remaja sudah mencapai kematangan yang sempurna, baik segi fisik, emosi, maupun psikisnya. Mereka akan mempelajari berbagai macam hal yang abstrak dan mulai memperjuangkan suatu idealisme yang didapat dari pikiran mereka. Mereka mulai menyadari bahwa mengkritik itu lebih mudah daripada menjalaninya. Sikapnya terhadap kehidupan mulai terlihat jelas, seperti cita-citanya, minatnya, bakatnya, dan sebagainya. Arah kehidupannya serta sifat-sifat yang menonjol akan terlihat jelas pada fase ini.
Kenakalan remaja
Kenakalan remaja biasanya dilakukan oleh remaja-remaja yang gagal dalam menjalani proses-proses perkembangan jiwanya, baik pada saat remaja maupun pada masa kanak-kanaknya. Masa kanak-kanak dan masa remaja berlangsung begitu singkat, dengan perkembangan fisik, psikis, dan emosi yang begitu cepat. Secara psikologis, kenakalan remaja merupakan wujud dari konflik-konflik yang tidak terselesaikan dengan baik pada masa kanak-kanak maupun remaja para pelakunya. Seringkali didapati bahwa ada trauma dalam masa lalunya, perlakuan kasar dan tidak menyenangkan dari lingkungannya, maupun trauma terhadap kondisi lingkungan, seperti kondisi ekonomi yang membuatnya merasa rendah diri, dan sebagainya.
Mengatasi kenakalan remaja, berarti menata kembali emosi remaja yang tercabik-cabik itu. Emosi dan perasaan mereka rusak karena merasa ditolak oleh keluarga, orang tua, teman-teman, maupun lingkungannya sejak kecil, dan gagalnya proses perkembangan jiwa remaja tersebut. Trauma-trauma dalam hidupnya harus diselesaikan, konflik-konflik psikologis yang menggantung harus diselesaikan, dan mereka harus diberi lingkungan yang berbeda dari lingkungan sebelumnya. Pertanyaannya : tugas siapa itu semua ? Orang tua-kah ? Sedangkan orang tua sudah terlalu pusing memikirkan masalah pekerjaan dan beban hidup lainnya. Saudaranya-kah ? Mereka juga punya masalah sendiri, bahkan mungkin mereka juga memiliki masalah yang sama. Pemerintah-kah ? Atau siapa ? Tidak gampang untuk menjawabnya. Tetapi, memberikan lingkungan yang baik sejak dini, disertai pemahaman akan perkembangan anak-anak kita dengan baik, akan banyak membantu mengurangi kenakalan remaja. Minimal tidak menambah jumlah kasus yang ada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar